KUMPULAN PERTANYAAN BESERTA JAWABANNYA DALAM BUKU NEGARA PARIPURNA KARYA YUDI LATIF



IDENTITAS BUKU

Judul                           : Negara Paripurna
Penulis                         : Yudi Latif
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : 2011
Jumlah Halaman          : x + 671
ISBN                           : 978-979-22-6947-5

            PERTANYAAN

1.      Bagaimana bisa sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam ras, agama, etnik dan budaya bisa bersatu dalam sebuah bangsa yang bernama “Indonesia” ?
2.      “ Pada akhir abad ke-20, karena banyak konflik lokal yang pecah, banyak orang yang bicara tentang disintegrasi yang mengancam indonesia”. Pertanyaannya : disintegrasi macam apa yang dimaksud dalam pernyataan tersebut dan seperti apa bentuknya ?
3.      Mengapa kebangsaan Indonesia perlu terus menerus diemong, dipelihara, dirangsang, dibimbing, dikembangkan dan diperdalam ?
4.      Mengapa Yudi Latif dalam bukunya hanya menggali dari aspek historisitas, rasionalitas, dan aktualitas saja ?
5.      Bagaimana Yudi Latif membedakan antara “intelek ulama” dan “ulama intelek” ? , mengapa harus dibedakan ?






JAWABAN


1.      Jawaban bahwa Indonesia adalah sekedar kelanjutan kesatuan administratif bekas jajahan Belanda terlalu dangkal. Jawaban ini tidak menjelaskan satu fakta yang cukup menarik : Di Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam sumpah pemuda, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat di Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama tidak meletakan dasar kebangsaan. Yang menarik juga, baha kebangsaan Indonesia merupakan kenyataan sosial dan bukan hanya semacam label yang diciptakan para politisi. Kebangsaan Indonesia bukan semacam jadi-jadian, melainkan membuktikan diri dalam hasrat para pemuda yang cukup berbeda itu untuk menjadi satu bangsa. Maka tinggal pertanyaan darimana persatuan orang-orang yang begitu berbeda budaya, etnik, agama dan rasnya. Kita kembali ke Soekarno : Indonesia adalah komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama. Yang mempersatukan Indonesia adalah pengalaman ketertindasan, pengalaman ketidakadilan yang diderita bersama, pengalaman berbagai kekejaman, pengalaman penghinaan bahwa orang asing menjadi tuan-tuan dan menghisap tenaga kerja rakyat.
Kebangsaan Indonesia mereflesikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz (1963), “Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru.”
Nama indonesia sebagai proyek  “nasionalisme politik” memang baru diperkenalkan pada tahun 1920. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakhir pada tanah air beserta elemen-elemen sosial budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir dinusantara. Kesadaran berbangsa dan bernegara yang seiring dengan kesadaran berbudaya itu sejak lama disadari oleh para perintis kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan Indonesia setidaknya telah berlangsung 7 kali kongres kebudayaan yang memperlihatkan proses pertumbuhan kesadaran nasional ( Supardi, 2007). Dalam kesadaran ini kemerdekaan Indonesia juga dipandang sebagai kemerdekaan yang berkebudayaan. Kebangsaan indonesia adalah ekspresi rasa syukur atas desain sunatulloh (hukum tuhan) yang menciptakan perbedaan, dengan menjunjung tinggi kesetaraan kemuliaan manusia, dengan mengembangkan sikap positif terhadap kemajemukan bangsa melalui perwujudan demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial.

2.      Disintegrasi yang dimaksud adalah karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa, budaya, etnik, suku bangsa, adat istiadat, serta kondisi faktual ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa lain yang tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi konflik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme yang ingin memishkan diri dari NKRI akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Potensi disintegrasi bangsa sangatlah besar,  hal ini dapat dilihat dari banyaknya permasalahan kompeks yang terjadi. Kondisi ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme yang ada didalam masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Kemudian untuk menanggulangi disintegrasi bangsa diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, serta diperlukan tatanan perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional. Salah satu upaya tersebut antara lain, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma pancasila yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.

3.      Karena kebangsaan Indonesia ini bukan  sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building. Berbeda dengan misalnya Korea, Perancis, atau Polandia, kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami, melainkan berdasarkan sesuatu yang mereka peroleh bersama. Karena kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami, maka Soekarno begitu menekankan perlunya nation building. Indonesia sudah menjadi bangsa, tetapi proses menjadi bangsa merupakan proses panjang yang harus diusahakan terus-menerus, karena jika tidak demikian maka dapat juga menguap.Meski Indonesia menunjukan keberagaman dan perubahan, sebagai dampak kehadiran aneka budaya dan peradaban besar dalam jangka waktu panjang, baik yang hadir serentak maupun beruntun, yang kuat maupun yang lemah, Nusantara dalam pandangan Dennis Lombard masih mampu mempertahankan “keasliannya” yang mendalam. Maka dari itu pantaslah bahwa kebangsaan Indonesia harus diemong, dipelihara, dirangsang, dibimbing, dikembangkan dan diperdalam karena jika tidak, habislah sudah kebangsaan Indonesia.

4.      Jawaban mengapa Yudi Latif hanya menggali dari 3 aspek tersebut adalah karena 3 aspek tersebut sudah mewakili aspek-aspek yang lain. 3 aspek tersebut sudah sangat konkret dalam menggali Pancasila. Misalnya, aspek Rasionalitas dalam dari alam pemikiran pancasila mendapatkan pembenaran teoritik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer. Pancasila mulai digali dari sisi historisnya kemudian  dirasionalkan hingga bagaimana mengaktualisasikan. Sehingga buku ini mampu menyajikan pemahaman yang sangat mendalam. Setiap sila dibahas dalam kerangka sistematika yang sama, meliputi penggalian akar-akar historisnya, proses negoisasinya dalam wacana publik, dan badan perwakilan ( BPUPKI, PPKI, Konstituante ) , kemudian rasionalisasinya dan kemudian aktualisasinya dalam kehidupan nyata.
Buku ini mereflesikan kesadaran dan keprihatinan bahwa krisis yang mendera kehidupan kebangsaan saat ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya. Kehadiran buku ini, dimaksudkan sebagai sumber rujukan dengan cara merekonstruksi alam pemikiran Pancasila seperti yang diidealisasikan oleh para pendiri bangsa. Usaha rekonstruksi ini dimaksudkan untuk merepresentasikan “tipe-tipe ideal” dalam pengertian Max Weber yaitu suatu konstruksi ideal dari gagasan para pendiri bangsa yang berkaitan dengan Pancasila dan UUD sebagai turunannya, yang berguna untuk menangkap semangat dan pokok-pokok pikirannya sebagai titik tolak dan tolak ukur bagi penjabaran dan penyesuainnya dalam perundang-undangan, pilihan-pilihan kebijakan, praktik kenegaraan dan kehidupan kebangsaan dalam rangka menjawab tantangan aktual yang terus berkembang.
Dalam usaha rekonstruksi itu, buku ini berusaha menyoroti dimensi historisitas, rasionalitas dan aktualitas masing-masing sila pancasila. Setiap sila dibahas dalam kerangka sistematika yang sama, meliputi penggalian akar-akar historisnya, proses negoisasinya dalam wacana publik dan badan perwakilan (BPUPKI, PPKI, Konstituante) lantas ditunjukan keabsahan rasionalitasnya dengan melakukan peninjauan dari persepktif teoritis dan komparatif, ini berujung pada modus gagasan para pendiri bangsa dan pemikiran-pemikiran lain yang sejalan dengan itu. 

5.      Yudi Latif membedakan antara “ intelek ulama “ dan “ ulama intelek “ yaitu : penyebutan “ intelek ulama “ digunakan untuk anak-anak elit yang mendapat pendidikan Belanda, yang bersentuhan dengan cita-cita Revolusi Perancis dan sosialisme yang melek pengetahuan agama. Sedangkan penyebutan “ ulama intelek “ digunakan untuk ulama (keluaran pendidikan agama) yang melek pengetahuan modern. Misalnya di Muhammadiyah dalam pengaruh pembaruan Islam di Mesir diakhir abad ke-19.
Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 “ulama intelek” dan “intelek ulama” dari kalangan modernis dan tradisionalis memainkan peran penting dalam pengembangan ruang publik modern di Nusantara. Hal ini terentang mulai dari rumah penerbitan ( dengan teknik litografis, kemudian tipografis ), pers (dalam huruf jawi kemudian huruf rumi), madrasah, sekolah, serikat dagang, perkumpulan-perkumpulan bergaya Eropa dan akhirnya partai politik. Beberapa monumen terpentingnya adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, kemudian disusul oleh Nahdlatul Ulama.
Jawaban mengapa harus dibedakan adalah ketika Yudi Latif menguraikan tentang tumbuhnya nasionalisme Indonesia , yang menyajikan diskursus intensif antara kaum intelegensia bangsa, sehinggan Yudi Latif membedakan antara “ intelek ulama “ dan “ulama intelek “.









Sumber-sumber penunjang jawaban yang tidak ada didalam bacaan :
https://rineksag.wordpress.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 00.39
http://mksssej4.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 00.54
http://goodreas.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2106 pukul 00.56



Komentar

Postingan Populer