REVIEW FILM IBNU ARABI



IDENTITAS FILM :
            Judul               : Ibnu Arabi
            Produksi          : Media Vision
            Tahun              : 2009
            Genre              : Film dokumenter/sejarah tokoh
Film ini menceritakan sejarah singkat tentang seorang tokoh sufi yang tersohor pada masa itu. Ia adalah pencetus paham wihdatul wujud namanya Muhammad bin Ali bin Muhammad Muhyiddin bin ‘Arabi al-Hatimi at-Tha’i al-Andalusi. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”).Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Ia lahir di Marsia,  ibukota Andalusia timur pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 18 Juli 1165 M.Pada tahun 567 saat Ia masih berumur 7 tahun keluarganya hijrah dari Marsia ke Qurasyiyah (Sevilla) tepatnya bagian timur pinggir Andalusia. Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Arabi kelak.
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di Kordova.Ibnu ‘Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf besar Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, karena ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika. Percakapan Ibnu ‘Arabi dengan filsuf besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari segala urusan duniawi yang dimilikinya. Sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal ia berkelana mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui Syeikh Abu Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf, yang barangkali adalah Syeikh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibnu’Arabi.Dari Bugia Ibnu’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Disana dia mengkaji karya seorang sufi politisi Abu al Qasim Ibnu Qushai, Khal’an Na’lain (melepas kedua sandal).
Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya kedalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di akhir 1194 setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid al Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah) untuk al Mawruri.
Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka adalah Abu Syuja’ al Imam al Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam seorang perempuan yang memikat perhatian orang yang melihatnya, dan sangat mempesona. Namanya adalah Nizam (keselarasan) dan nama panggilannya adalah ‘Ayn al Syams (mata sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān al Asywāq.Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul Abdāl, Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental adalah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia (daerah Rum).
Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memberinya pentahbisan al Khidr untuk ketiga kalinya. Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tarazzulah al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal Jamāl, dan kitab Kunh mā lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara melalui Dyarbakir, dan Malatya sampai di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi menyusun Risalah al Anwār (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhbungan dengan Ahaduddin Hamid al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron (disini berhasil menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan ibadah Haji di Makkah pada bulan Juli 1206.
Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang kitab Awarif al Ma’arif. Pada periode antara 1213 – 1221 Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majduddin, Sadruddin Qunawi yang saat itu berusia sekitar 7 tahun.
Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya besarnya Futūĥātul al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelasaikan puisinya Al Diwan al Akbar.Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun.
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud. Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya. Wujud alam, menurut Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN FILM
Ini merupakan sebuah film dokumenter yang dikemas secara apik dan menarik. Pengaturan setting tempat dan pencahayaan yang tepat sehingga penonton seolah-olah dibawa mundur ke zaman dahulu, sehingga penggambaran keadaan dapat diarasakan secara nyata. Alur cerita yang runtut juga membuat penonton mudah memahai jalannya cerita, dimulai dari perjalan perjalanan ibnu arabi mengelilingi Andalusia sampai mengembara ke banyak negara negara. Film ini juga dilengkapi dengan penjelasan para ahli sejarah, sehingga menambah kejelasan tokoh film. Para pemain juga terlihat sangat kompeten dalam mendalami perannya sehingga adegan adegan yang terjadi terlihat sangat alami tanpa dibuat-buat.
Namun tak ada gading yang tak retak, karena film ini menggunakan bahasa asing (bahasa Arab) sehingga bagi penonton yang belum mahir bahasa Arab sangat susah untuk memahami film ini. Dalam film ini juga tidak disertai dialog dialog antar pemain hanya ilustrasi ilustrasi adegan semata, sehingga membuat penonton bosan.
SARAN
Film ini sangat cocok ditonton bagi orang-orang yang cinta dan mempelajari sejarah, khususnya dalam bidang tasawuf. Namun, hendaknya film ini diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di Dunia sehingga memudahkan bagi para penonton yang belum mahir berbahasa Arab. Penambahan dialog juga diperlukan supaya para penonton tidak merasa bosan ketika menikmati film ini.
                                                                                                     
                                       

Komentar

Postingan Populer